Monday, August 9, 2010

Demi Goresan Kapur

Rudi Manggala Saputra pertama kali menginjakkan kaki di Kampung Cikoneng, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor pada tahun 1982. anak-anak di kawasan perkebunan teh itu membuatnya prihatin. sepanjang hari mereka hanya bermain atau menggendong adik, tidak ada yang pergi ke sekolah. rudi yang hanya tamatan sekolah menengah ekonomi atas, kemudian berinisiatif mengajak anak-anak itu belajar. awalnya, RT setempat keberatan karena merasa tidak sanggup mengaji seorang guru. tapi rudi tidak ingin dibayar, yang penting anak-anak bisa mengisi waktu mereka dengan pendidikan.




rudi memang tidak mempunyai latar belakang guru, bercita-cita menjadi seorang gurupun tidak pernah terpikirkan olehnya. satu hal saja, ia ingin menjadi seorang yang bermanfaat bagi orang banyak.

anak-anak pemetik teh kemudian ia kumpulkan di satu areal penimbangan teh untuk belajar. kelas terbuka itu sungguh memprihatinkan. ketika hujan mereka kebasahan. ketika angin besar mereka terpaksa berhenti belajar, karena angin menerbangkan buku-buku. tapi semangat anak-anak untuk belajar tidak pernah berhenti.

rudi meminta pemerintah untuk meresmikan sekolah rintisannya dengan harapan akan mendapat perhatian. pada tahun 2006, sekolahnya pun diresmikan menjadi sekolah dasar negeri cikoneng. satu-satunya sekolah dasar di kampung cikoneng. murid-muridnya datang dari beberapa kampung di sekitar cikoneng, bahkan dari balik perbukitan teh. semuanya merupakan anak-anak buruh pemetik teh.




banyak orang memang tidak pernah memperhatikan seperti apa kehidupan buruh pemetik teh. hamparan bukit teh seperti permadani hijau dengan embun di pucuk teh bak berlian. pemandangan yang sempurna, tapi tidak kehidupan para pemetiknya. pucuk teh yang dipetik dihargai 750 rupiah. sehari buruh laki-laki bisa memetik 15 kg, buruh perempuan lebih sedikit lagi. bisa dibayangkan berapa penghasilan mereka. itupun dengan catatan jika pucuk teh dalam kondisi baik.

rudipun punya pendapat, lingkungan perkebunan teh seperti lingkaran setan. anak-anak di kampung itu nantinya akan menjadi pemetik teh juga, mengikuti jejak orangtua mereka. surya, seorang pemetik teh mengakui hal ini. anak laki-laki setamat SD dianggap sudah dewasa dan harus ikut mencari nafkah keluarga. sedangkan yang perempuan akan dinikahkan. kemungkinan dengan seorang pemetik teh juga dan dengan alasan menolong suami, diapun ikut juga memetik teh. surya tidak ingin anaknya deden menjadi pemetik teh. sebenarnya, dia mendukung cita-cita deden menjadi seorang guru. ingin sekaligus ngeri membayangkan biaya pendidikan lanjutan.

lain lagi cerita nia kurniasih. gadis manis yang duduk di kelas 6 ini selalu membawa adik bungsunya ke sekolah. ayah ibunya sejak pagi sudah berangkat memetik teh. pengasuhan adikpun menjadi tanggung jawab nia. terkadang kalau adiknya rewel di kelas, rudilah yang membujuk adiknya supaya tenang dan si kakak bisa tetap belajar.




nia sebenarnya tidak ingin seperti teman-temannya yang belum menyelesaikan sekolah dasar tapi sudah bersuami, punya momongan, dan berakhir sebagai pemetik teh. baginya, cukuplah bapak ibu yang jadi pemetik teh. nia berangan-angan lebih dari itu. tapi ketika aku tanya, bagaimana bila kamu menikah muda. kalau sudah ada jodohnya, mau bilang apa, jawabnya kenes. duh, Gusti...

rudi berkali-kali membujuk orangtua supaya melanjutkan pendidikan anak mereka. tapi kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan dan besarnya biaya pendidikan lanjutan di luar perkebunan teh, menjadi hambatan terbesar.

mengapa rudi melakukan itu semua?
rudi hanya mencari ketenangan jiwa. meski setelah berpuluh tahun ia mengabdi, status kepegawaiannya masih honorer. ia menerima 250,000 rupiah dari pemerintah dan 327,000 rupiah dari perusahaan perkebunan teh. rudi mencari kebanggaan. anak-anak datang dari jauh, dari balik bukit-bukit teh, hanya untuk mendapatkan satu goresan kapur dari seorang pengguna tongkat. semangat anak-anak itu yang membuatnya senantiasa merasa tidak pantas mengabaikan tugasnya.



ketika remaja, rudi mengalami kecelakaan kendaraan bermotor. kaki kanannya kini tidak lagi berfungsi dengan baik dan ia terpaksa menggunakan tongkat. satu tekadnya, menjadi manusia bertongkat yang berguna untuk orang banyak. ia memukul semua anggapan bahwa orang cacat hanya bisa jadi pengemis dan tidak berguna. ia tidak lagi merasa dirinya sebagai orang cacat, orang-orang yang merendahkanlah yang selalu dianggapnya sebagai orang cacat. hinaan adalah cambuk semangatnya. rudi berharap ilmu yang ia berikan kepada anak-anak pemetik teh di sekolah dasar bisa menjadi bekal untuk mereka di kemudian hari, hidup mandiri dan lebih baik dari orangtuanya.

selamat mengabdi, pak rudi!

* Demi Goresan Kapur merupakan bagian dari Serial Dokumenter Refleksi "Menembus Batas"

No comments:

Post a Comment