Thursday, June 10, 2010

Melawan Jaman


Dulu, geliat industri perfilman menciptakan beberapa lapangan pekerjaan dan menghidupi banyak orang. Kini, lapangan pekerjaan itu menuju kepunahan. Perkembangan teknologi mengubah dunia, hidup, bahkan nasib.
Muhadi masih mengingat dengan baik, ketika muda ia dan temannya berbondong-bondong ke kampung tetangga hanya untuk menonton layar tancap. kunjungan ke kampung tetangga itu tidak jarang berbuah cinta. pernah juga pria 65 tahun ini harus menggendong si kecilnya sepanjang film diputar. semua karena layar tancap. namun, apa kabar layar tancap hari ini?

emangnya masih ada? begitu tanya temanku, ketika aku sampaikan niatku untuk mengangkat nasib layar tancap. aku menemukan satu kelompok layar tancap di salah satu sudut pinggiran kota Depok.

Rispa Ardirosa mewarisi usaha layar tancap dari ayahnya. Rol film yang menurutnya begitu memikat, membuatnya mantap meneruskan usaha langka ini. menurutnya, di Depok sendiri tidak sampai 10 kelompok usaha layar tancap yang masih bertahan.

Rispa menyalahkan televisi atas surutnya minat masyarakat menonton layar tancap. film-film di bioskop-terutama film Indonesia, bisa ditonton di televisi hanya dalam waktu 3 bulan.

mau tidak mau Rispa harus melakukan banyak penyesuaian, mulai dari harga, teknologi, hingga service pada pelanggan. ia optimis dengan penyesuaian ini ia mampu bertahan. paling tidak melayani pelanggan yang ingin bernostalgia seperti Muhadi.

"Sudahlah, keadaan ini ditertawakan saja," kata Tirta Jaya, seorang pengusaha pelukis poster film. usaha yang dia mulai dari nol ini, terancam punah. tidak ada lagi perusahaan film yang mau menggunakan poster film yang dilukis. sekarang jaman digital. poster film sekarangpun dibuat secara digital. harganya lebih murah. waktu produksi singkat. gambarpun persis seperti poster aslinya.

menurut Tirta, pekerjaan pelukis poster film berada di struktur paling bawah dunia perfilman. manisnya kebangkita film indonesia tidak mereka rasakan. milyaran rupiah yang beredar di industri ini hanya dirasakan para produser dan pemilik perusahaan film.

Tirta bukannya tidak berusaha. ia sudah berkali-kali meminta agar perusahaan film memperbaiki honor mereka. namun, berkali-kali pula ia ditolak. teknologi membuat ia dan teman-temannya kehilangan daya tawar. Tirta merasa sedih luar biasa setiap kali melihat bioskop-bioskop tua yang masih memutar film lama dan memajang poster film yang dilukis. "pekerjaan ini sebentar lagi akan punah," katanya murung.

sejak beberapa tahun yang lalu, Tirta memang sudah melihat gelagat usahanya yang akan gulung tikar. iapun sudah mempersiapkan mengalihkan usahanya ke digital printing. bagaimana dengan teman pelukis poster yang lain? ya, terpaksa usaha masing-masing, katanya miris...

Puff...aku bisa bilang apa ya untuk usaha mereka melawan jaman. tidak ada. ironi yang kata pak Tirta ditertawakan saja. tapi aku pikir lagi, nothing last forever. setidaknya kita jadi manusia memang harus selalu mawas diri. tidak selamanya kita berada di tempat kita berdiri saat ini. kalau kata dosen mata kuliah perubahan sosial dulu, yang paling pasti di dunia ini adalah perubahan.

Darwin juga bilang...bukan yang paling kuat yang akan bertahan, tapi mereka yang paling mampu menyesuaikan diri.


*postingan yang terlambat* tapi "Melawan Jaman" telah tayang di Refleksi DAAITV pada Selasa, 1 Juni 2010 pukul 20.30 wib